Apakah gotong royong sudah benar-benar hilang? Pertanyaan menggelitik pada
telinga kita saat ini. Sudah benar-benar habiskah budaya gotong royong di
masyarakat kita saat ini? Bagaimanakah
budaya tersebut bisa kita pertahankan diera globalisasi yang merangsek semakin
kencang saat ini? Semua komponen harus bertanggung jawab mentransmisi sikap
gotong royong ini agar menjadi karakter yang tetap ada bagi generasi
berikutnya. Sesungguhnya budaya gotong-royong merupakan kekuatan besar budaya
masyarakat yang perlu dikembangkan terus di negeri ini. Dengan gotong royong dan
kebersamaan setiap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dapat diselesaikan.
Membangun kebersamaan dan silaturahmi dengan gotong royong sangat dirasakan
oleh warga ketika membersihkan lingkungan, membangun fasilitas umum seperti
mesjid atau rumah ibadah, atau saat berduka dan lain sebagainya, dimana warga
dapat saling bertegur sapa, bercengkrama. Akan tetapi dengan semakin derasnya
arus globalisasi dan kemajuan teknologi dan informasi kepribadian tersebut
terpengaruh, terkurangi, tergerus oleh kebudayaan asing yang lebih mementingkan
individualisme, karena sibuk bekerja dan enggan bersosialisasi karena alasan
tertentu.
Perubahan-perubahan yang melanda bangsa ini telah banyak mengikis sifat
dasar kebangsaan dan berubah menjadi nilai lain yang merupakan lawan dari
semangat gotong royong, yakni indvidualisme. Terdapat kecenderungan-kecenderungan yang tak dapat
ditolak, bahwa individualisme, telah menjadi alternatif dari sistem nilai yang
gejalanya terus menguat pada masyarakat. Etika ketimuran yang ditandai dengan
gotong royong sebagai ciri khas dari masyarakat kita, telah tergantikan peranannya oleh
individualisme. Terlalu banyak contoh soal terjadinya perubahan atau bahkan perubahan
orientasi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Dimana sistim nilai dasar telah
tergantikan nilai baru yang merupakan dampak dari arus modernsisasi. Tak hanya di kalangan masyarakat perkotaan,
tetapi telah merembes ke pedesaan-pedesaan. Contoh sederhana membangun
selokan atau jalan desa, pembuatan saluran irigasi telah menjadi paket-paket
proyek anggaran yang dikerjakan oleh pemborong. Gotong- royong membangun rumah sudah jarang ditemui kalaupun ada jauh
dipelosok desa keberadaannya. Jarang warga tanpa pamrih bekerjasama membangun rumah salah satu warganya. Sekarang, untuk
bekerja, setidaknya si pemilik rumah harus menyediakan dana untuk memberi upah.
Nilai-nilai telah terkomersialisasikan, dari kerja dengan penuh kerelaan
menjadi kerja dengan motivasi memperoleh upah.
Gelombang masuknya budaya individualis yang masuk dan menerjang budaya
gotong royong ditambah dengan tekanan kondisi ekonomi yang semakin berat masih tersisa harapan bertahannya budaya
tersebut di masyarakat terutama di masyarakat Banten secara umum. Hal tersebut
masih nampak meski samar-samar melalui kebersamaan melaksanakan kegiatan peringatan
hari besar keagamaan seperti peringatan maulid dan Isra Mi’raj Nabi Muhamad
SAW, sebagian masyarakat masih dapat
melakukan kerja bakti dan iuran untuk membangun tempat ibadah mesjid atau
musholla. Selain itu sebagian warga masih dapat melakukan kerja bakti bergotong
royong membersihkan lingkungan, masyarakat masih mau mengumpulkan koin setiap
minggu untuk kebutuhan bersama seperti peralatan kematian dan lain-lain. Jauh
dipedesaan sana gotong royong membangun rumah masih dilakukan oleh masyarakat pada
saat membongkar rumah, sedang saat membangun dan merapihkan menggunakan tukang
dan harus dibayar sesuai dengan kemampuan.
Potret kebersamaan tersebut merupakan gambaran gotong royong yang masih
dapat diupayakan dan dilaksanakan oleh para orang tua yang saat ada. Bagaimana
dengan generasi yang akan datang, generasi anak-anak kita yang akan
menggantikan generasi saat ini ada. Mendidik, membina dan membangun jiwa dan
karakter kebersamaan atau gotong royong adalah sebuah keniscayaan yang harus selalu
diberikan dan dimantapkan kedalam hati sanubari para generasi yang akan datang.
Pada tataran pendidikan disekolah menjadi penting mewariskan budaya
gotong royong kepada penerus bangsa di
berbagai tingkat pendidikan agar pada masanya nanti generasi berikut dapat
mewarisi karakter gotong royong. Karena sekolah berfungsi sebagai tempat penanaman dan konservasi budaya maka sekolah
merupakan tempat strategis untuk transfer budaya.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral
behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang
baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik,
dan melakukan perbuatan kebaikan. Pendidikan karakter gotong royong telah
menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang
berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga
untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan
sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal
character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi
kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal.
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan
dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah metode
keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
Pembiasaan adalah salah satu cara penanaman karakter gotong royong dan bagaimana proses pembiasaan tersebut
dapat tertanam dan menjadi kebiasaan yang harus selalu dapat dilaksanakan dalam
melanggengkan budaya gotong royong..
Kegiatan Pembiasaan di Sekolah Pengembangan karakter peserta didik dapat
dilakukan dengan membiasakan perilaku positif tertentu dalam kehidupan
sehari-hari. Pembiasaan merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang
relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang
berulang-ulang, baik dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Hal
tersebut juga akan menghasilkan suatu kompetensi. Pengembangan karakter melalui
pembiasaan ini dapat dilakukan secara terjadwal atau tidak terjadwal baik di
dalam maupun di luar kelas. Kegiatan pembiasaan di sekolah terdiri atas
Kegiatan Rutin, Spontan, Terprogram dan Keteladanan. 1.
Kegiatan Rutin Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilakukan secara reguler dan
terus menerus di sekolah. Tujuannya untuk membiasakan siswa melakukan sesuatu
dengan baik. 2. Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dapat dilakukan tanpa
dibatasi oleh waktu, tempat dan ruang. Hal ini bertujuan memberikan pendidikan
secara spontan, terutama dalam membiasakan bersikap sopan santun, dan sikap
terpuji lainnya. 3. Kegiatan Terprogram Kegiatan Terprogram
ialah kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap disesuaikan dengan kalender
pendidikan atau jadwal yang telah ditetapkan. Membiasakan kegiatan ini artinya
membiasakan siswa dan personil sekolah aktif dalam melaksanakan kegiatan
sekolah sesuai dengan kemampuan dan bidang masing-masing.
Penanaman karakter gotong royong harus pula dapat
dilakukan oleh para guru dalam proses pembelajaran yang diampu, seperti
kegiatan pembelajaran yang mengunakan model pembelajaran kooperatif dan model
lainnya agar terbiasa saling membantu dan terbiasa dengan kebersamaan yang
menjadi harapan bahwa generasi yang akan datang mempunyai kemampuan bekerja
sama dan bergotong royong dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi (Lie.
2012). Kemampuan guru dalam meramu pembelajaran yang menanamkan kebersamaan dan
gotong royong secara konsisten dan terus menerus akan menjadi kebiasaan yang
akan tertanam dalam hati sanubari.
Lingkungan keluarga dan lingkungan rumah pun berperan penting dalam
membentuk karakter gotong royong. Dimana ajakan orang tua dan orang-orang yang
lebih tua kepada anak-anak untuk membantu bergotong royong dapat pula
mempengaruhi karakter. Kesuma (2016) budaya diterima generasi muda sebagian
melalui proses transfer budaya oleh generasi tua.
Keteladanan tokoh-tokoh dilingkungan termasuk media sosial dan media
televisi memberikan andil yang begitu besar terhadap perilaku gotong royong.
Apa yang sering dilihat dan disaksikan generasi muda akan mudah melekat pada
memori dan menjadi bagian perilaku, sebab (Kesuma. 2016) nilai-nilai budaya
dapat bertransmisi melalui proses-proses yang tidak disadari.
DAFTAR BACAAN
Anita Lie. (2002). Cooperative Learning
(Mempraktikan Cooperative learning diruang-ruang kelas). Jakarta :
Gramedia Widiasarana.
Kesuma, Dharma. 2016. Struktur Fundamental Pedagogik (membedah
Pemikiran Paulo Freire). Bandung : Refika Aditama.
Lickona,
Thomas, Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility, New York:
Bantam Books, 1991.
Penulis: Guru di SMP Negeri 2 Cipeucang dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar