Selasa, 07 Maret 2017

Gotong Royong dan Pendidikan Gotong Royong


Apakah gotong royong sudah benar-benar hilang? Pertanyaan menggelitik pada telinga kita saat ini. Sudah benar-benar habiskah budaya gotong royong di masyarakat kita saat ini?  Bagaimanakah budaya tersebut bisa kita pertahankan diera globalisasi yang merangsek semakin kencang saat ini? Semua komponen harus bertanggung jawab mentransmisi sikap gotong royong ini agar menjadi karakter yang tetap ada bagi generasi berikutnya. Sesungguhnya budaya gotong-royong merupakan kekuatan besar budaya masyarakat yang perlu dikembangkan terus di negeri ini. Dengan gotong royong dan kebersamaan setiap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dapat diselesaikan. Membangun kebersamaan dan silaturahmi dengan gotong royong sangat dirasakan oleh warga ketika membersihkan lingkungan, membangun fasilitas umum seperti mesjid atau rumah ibadah, atau saat berduka dan lain sebagainya, dimana warga dapat saling bertegur sapa, bercengkrama. Akan tetapi dengan semakin derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi dan informasi kepribadian tersebut terpengaruh, terkurangi, tergerus oleh kebudayaan asing yang lebih mementingkan individualisme, karena sibuk bekerja dan enggan bersosialisasi karena alasan tertentu.



Perubahan-perubahan yang melanda bangsa ini telah banyak mengikis sifat dasar kebangsaan dan berubah menjadi nilai lain yang merupakan lawan dari semangat gotong royong, yakni indvidualisme.  Terdapat kecenderungan-kecenderungan yang tak dapat ditolak, bahwa individualisme, telah menjadi alternatif dari sistem nilai yang gejalanya terus menguat pada masyarakat. Etika ketimuran yang ditandai dengan gotong royong sebagai ciri khas dari masyarakat kita, telah tergantikan peranannya oleh individualisme. Terlalu banyak contoh soal terjadinya perubahan atau bahkan perubahan orientasi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Dimana sistim nilai dasar telah tergantikan nilai baru yang merupakan dampak dari arus modernsisasi. Tak hanya di kalangan masyarakat perkotaan, tetapi telah merembes ke pedesaan-pedesaan. Contoh sederhana membangun selokan atau jalan desa, pembuatan saluran irigasi telah menjadi paket-paket proyek anggaran yang dikerjakan oleh pemborong. Gotong- royong membangun rumah sudah jarang ditemui kalaupun ada jauh dipelosok desa keberadaannya. Jarang warga tanpa pamrih bekerjasama membangun rumah salah satu warganya. Sekarang, untuk bekerja, setidaknya si pemilik rumah harus menyediakan dana untuk memberi upah. Nilai-nilai telah terkomersialisasikan, dari kerja dengan penuh kerelaan menjadi kerja dengan motivasi memperoleh upah. 
Gelombang masuknya budaya individualis yang masuk dan menerjang budaya gotong royong ditambah dengan tekanan kondisi ekonomi yang semakin berat  masih tersisa harapan bertahannya budaya tersebut di masyarakat terutama di masyarakat Banten secara umum. Hal tersebut masih nampak meski samar-samar melalui kebersamaan melaksanakan kegiatan peringatan hari besar keagamaan seperti peringatan maulid dan Isra Mi’raj Nabi Muhamad SAW,  sebagian masyarakat masih dapat melakukan kerja bakti dan iuran untuk membangun tempat ibadah mesjid atau musholla. Selain itu sebagian warga masih dapat melakukan kerja bakti bergotong royong membersihkan lingkungan, masyarakat masih mau mengumpulkan koin setiap minggu untuk kebutuhan bersama seperti peralatan kematian dan lain-lain. Jauh dipedesaan sana gotong royong membangun rumah masih dilakukan oleh masyarakat pada saat membongkar rumah, sedang saat membangun dan merapihkan menggunakan tukang dan harus dibayar sesuai dengan kemampuan.
Potret kebersamaan tersebut merupakan gambaran gotong royong yang masih dapat diupayakan dan dilaksanakan oleh para orang tua yang saat ada. Bagaimana dengan generasi yang akan datang, generasi anak-anak kita yang akan menggantikan generasi saat ini ada. Mendidik, membina dan membangun jiwa dan karakter kebersamaan atau gotong royong adalah sebuah keniscayaan yang harus selalu diberikan dan dimantapkan kedalam hati sanubari para generasi yang akan datang.
Pada tataran pendidikan disekolah menjadi penting mewariskan budaya gotong  royong kepada penerus bangsa di berbagai tingkat pendidikan agar pada masanya nanti generasi berikut dapat mewarisi karakter gotong royong. Karena sekolah berfungsi  sebagai tempat  penanaman dan konservasi budaya maka sekolah merupakan tempat strategis untuk transfer budaya.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Pendidikan karakter gotong royong telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal. Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah metode keteladanan,  metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
Pembiasaan adalah salah satu cara penanaman karakter gotong royong  dan bagaimana proses pembiasaan tersebut dapat tertanam dan menjadi kebiasaan yang harus selalu dapat dilaksanakan dalam melanggengkan budaya gotong royong.. Kegiatan Pembiasaan di Sekolah Pengembangan karakter peserta didik dapat dilakukan dengan membiasakan perilaku positif tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Pembiasaan merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang, baik dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Hal tersebut juga akan menghasilkan suatu kompetensi. Pengembangan karakter melalui pembiasaan ini dapat dilakukan secara terjadwal atau tidak terjadwal baik di dalam maupun di luar kelas. Kegiatan pembiasaan di sekolah terdiri atas Kegiatan Rutin, Spontan, Terprogram dan Keteladanan. 1.    Kegiatan Rutin Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilakukan secara reguler dan terus menerus di sekolah. Tujuannya untuk membiasakan siswa melakukan sesuatu dengan baik. 2. Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dapat dilakukan tanpa dibatasi oleh waktu, tempat dan ruang. Hal ini bertujuan memberikan pendidikan secara spontan, terutama dalam membiasakan bersikap sopan santun, dan sikap terpuji lainnya. 3.    Kegiatan Terprogram Kegiatan Terprogram ialah kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap disesuaikan dengan kalender pendidikan atau jadwal yang telah ditetapkan. Membiasakan kegiatan ini artinya membiasakan siswa dan personil sekolah aktif dalam melaksanakan kegiatan sekolah sesuai dengan kemampuan dan bidang masing-masing.
Penanaman karakter gotong royong harus pula dapat dilakukan oleh para guru dalam proses pembelajaran yang diampu, seperti kegiatan pembelajaran yang mengunakan model pembelajaran kooperatif dan model lainnya agar terbiasa saling membantu dan terbiasa dengan kebersamaan yang menjadi harapan bahwa generasi yang akan datang mempunyai kemampuan bekerja sama dan bergotong royong dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi (Lie. 2012). Kemampuan guru dalam meramu pembelajaran yang menanamkan kebersamaan dan gotong royong secara konsisten dan terus menerus akan menjadi kebiasaan yang akan tertanam dalam hati sanubari.
Lingkungan keluarga dan lingkungan rumah pun berperan penting dalam membentuk karakter gotong royong. Dimana ajakan orang tua dan orang-orang yang lebih tua kepada anak-anak untuk membantu bergotong royong dapat pula mempengaruhi karakter. Kesuma (2016) budaya diterima generasi muda sebagian melalui proses transfer budaya oleh generasi tua.
Keteladanan tokoh-tokoh dilingkungan termasuk media sosial dan media televisi memberikan andil yang begitu besar terhadap perilaku gotong royong. Apa yang sering dilihat dan disaksikan generasi muda akan mudah melekat pada memori dan menjadi bagian perilaku, sebab (Kesuma. 2016) nilai-nilai budaya dapat bertransmisi melalui proses-proses yang tidak disadari.

DAFTAR BACAAN
Anita Lie. (2002). Cooperative Learning (Mempraktikan Cooperative learning diruang-ruang kelas). Jakarta : Gramedia Widiasarana.
Kesuma, Dharma. 2016. Struktur Fundamental Pedagogik (membedah Pemikiran Paulo Freire). Bandung : Refika Aditama.
Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books, 1991.






Penulis: Guru di  SMP Negeri 2 Cipeucang dan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar